Sabtu, 09 November 2013

PENALARAN INDUKTIF

PENALARAN INDUKTIF

PENGERTIAN PENALARAN

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akat terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Dalam penalaran proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (
consequence).
Hubungan 
antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.

PENGERTIAN PARAGRAF INDUKTIF
Paragraf induktif adalah paragraf yang dimulai dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa yang khusus, untuk menuju kepada kesimpulan umum, yang mencakup semua peristiwa khusus di 
atas.

PENALARAN INDUKTIF
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal 
ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.

CIRI-CIRI PENALARAN INDUKTIF
• Terlebih dahulu menyebutkan peristiwa-peristiwa khusus
• Kemudian, menarik kesimpulan berdasarkan peristiwa-peristiwa khusus
• Kesimpulan terdapat di akhir paragraf
• Menemukan Kalimat Utama, Gagasan Utama, Kalimat Penjelas
• Kalimat utama paragraf induktif terletak di akhir 
paragraph
• Gagasan Utama terdapat pada kalimat utama
• Kalimat penjelas terletak sebelum kalimat utama, yakni yang mengungkapkan peristiwa- peristiwa khusus
• Kalimat penjelas merupakan kalimat yang mendukung gagasa utama

JENIS PARAGRAF INDUKTIF :
• Generalisasi
• Analogi
• Klasifikasi
• Perbandingan
• Sebab akibat

JENIS-JENIS PENALARAN INDUKTIF
Aspek dari penalaran induktif adalah analogi dan generalisasi. Menurut Jacob (dalam Shofiah, 2007 :15), hal ini berdasarkan bahwa penalaran induktif terbagi menjadi dua macam, yaitu analogi dan generalisasi.

PENGERTIAN ANALOGI
Proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain dengan 
cara membandingkan peristiwa yang ada dengan peristiwa sebelumnya, kemudian menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk satu hal berlaku juga untuk hal lain. Dengan kata lain penalaran analogi dapat diartikan sebagai proses penyimpulan berdasarkan fakta atau kesamaan atau proses membandingkan dari dua peristiwa (hal) yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian ditariklah kesimpulan dari persamaan tersebut.
1. Analogi mempunyai 4 fungsi, antara lain :
a) Membandingkan beberapa orang yang memiliki sifat kesamaan
b) Meramalkan kesaman
c) Menyingkapkan kekeliruan
d) Klasifikasi
2. Contoh dari Analogi
a) Demikian 
pula dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan sombong dan garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan kelebihan, bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.
b) Untuk menjadi seorang penari professional atau ternama dibutuhkan latihan yang rajin dan ulet. Demikiannya dengan seorang atlit untuk dapat menjadi atlit professional dan berprestasi dibutuhkan latihan yang rajin dan ulet. Oleh karena itu untuk menjadi seorang penari maupun seorang atlit diperlukan latihan yang rajin dan ulet..

PENGERTIAN PARAGRAF GENERALISASI
Generalisasi adalah penarikan kesimpulan umum dari data atau fakta-fakta yang diberikan atau yang ada.
General = Umum
Contoh:
Penarikan secara generalisasi dilakukan dengan mengemukakan hal-hal khusus lalu menarik kesimpulannya secara umum.
• Jika dipanaskan, besi memuai
• Jika dipanaskan, tembaga memuai
• Jika dipanaskan, perak memuai
Jadi, jika dipanaskan, logam memuai.
Contoh :
• Untuk menjadi karyawan PT Rizki syarat utamanya adalah sarjana. Akan tetapi, tidak cukup sarjana saja. Calon karyawan hars memiliki Indeks Prestasi bagus di Perguruan Tingginya, minimal 2,75. Calon karyawan juga harus menguasai salah satu bahasa asing, Inggris dan Mandarin. Jika semua persyaratan administratif sudah terpenuhi, mereka harus lulus serangkaian tes yang diselenggarakan oleh PT Rizki. Jadi, memang tidak mudah untuk dapat diterima menjadi karyawan PT Rizki.

1. Macam – Macam Generalisasi
a) Generalisasi sempurna
Generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contoh:
sensus penduduk
b) Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi dimana kesimpulan diambil dari sebagian fenomena yang diselidiki diterapkan juga untuk semua fenomena yang belum diselidiki.
Contoh:
Hampir seluruh pria dewasa di Indonesia senang memakai celana pantaloon.
Prosedur pengujian generalisasi tidak sempurna.
Generalisasi yang tidak sempurna juga dapat menghasilkan kebenaran apabila melalui prosedur pengujian yang benar.
Prosedur pengujian atas generalisasi tersebut adalah:
1. Jumlah sampel yang diteliti terwakili.
2. Sampel harus bervariasi.
3.Mempertimbangkan hal-hal yang menyimpang dari fenomena umum/ tidak umum.


Pemahaman Tentang Perjanjian Kredit

Pemahaman Tentang Perjanjian Kredit

 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pada masa sekarang dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang mandiri dan handal guna meningkatkan terciptanya masyarakat adil dan makmur untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara meluas, selaras adil dan merata. Pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial guna mencapai kesejahteraan manusia itu sendiri secara berkesinambungan.
             Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan kesinambungan aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan.
             Demikian kenyataannya, manusia yang memerlukan alat (sarana) bagi perlengkapan hidupnya baik yang berupa kebutuhan primer maupun sekunder. Dimana terhadap alat-alat untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, manusia tidak pula senantiasa mampu untuk membuatnya sendiri, tetapi dapat memperolehnya dari orang-orang yang memang pekerjaannya mengolah barang-barang yang diperlukan. Di samping itu manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya kadang kala mengalami keterbatasan dana sehingga sudah sewajarnya sebagai kondrati manusia untuk saling membutuhkan dalam memenuhi keinginan yang beraneka ragam guna melanjutkan kehidupannya.
 Dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi maka akan semakin terasa perlunya sumber-sumber dan untuk membiayai suatu kegiatan usaha. Hubungan antara pertumbuhan kegiatan ekonomi ataupun pertumbuhan kegiatan usaha suatu perusahaan erat dengan perkreditan. Hal ini disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya merupakan mitra usaha bagi perusahaan-perusahaan jasa non keuangan lainnya.
 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ditinjau dari sudut pandang perbankan atau lembaga keuangan yang menyediakan dana lewat fasilitas pembiayaan tersebut, pembiayaan atau yang lebih dikenal dengan kata kredit mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian diakui pula bahwa sektor perkreditan tetap merupakan kegiatan yang penting bagi industri perbankan maupun lembaga keuangan lainnya di negara-negara berkembang maupun negara-negara yang telah maju, karena pembiayaan tetap merupakan salah satu sumber dana yang penting untuk setiap jenis kegiatan usaha.
            Hanya saja dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut pihak lembaga keuangan harus bertindak secara hati-hati. Hal ini dikarenakan dari pembiayaan tersebut akan timbul sejumlah resiko yang cukup besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang dipinjamkan dapat diterima kembali atau tidak.
           
Permasalahan
            Dari uraian pendahuluan yang telah dikemukakan di atas, timbul permasalahan: “Bagaimana tinjauan juridis terhadap Perjanjian Kredit Bank apabila Debitur lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit)”.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Kredit

            Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang pada hakekatnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok ajaran:
1.   Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya “konsensuil”.
2.   Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang merupakan dua buah perjanjian yang masing-masing bersifat “konsensuil” dan “riil”.
            Ke dalam ajaran pertama mempunyai pengikut yaitu Winds Cheid dan Goudiket. Winds Cheid mengemukakan bahwa “perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh yang pemenuhannya tergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu (Pasal 1253 KUH Perdata) sedangkan Goudiket mengemukakan pula bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang yang bersifat konsensuil dan obligatoia. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Beliau menolak sifat riil perjanjian pinjam uang kalau seseorang mengikatkan diri untuk menyerahkan uang kepada pihak lain, maka yang perlu adalah satu perjanjian untuk mencapai tujuan perjanjian itu.
            Penyerahan uang adalah “pelaksanaan dari perjanjian itu bukan merupakan perjanjian tersendiri, terlepas dari perjanjian kredit. Perjanjian kredit menurut Goudiket adalah penawaran yang mengikat pemberi kredit untuk mengadakan suatu perjanjian timbal bali, sifat timbal balik perjanjian ini terjadi pada saat penerima kredit menyatakan kesediaannya menerima pinjaman itu.
Berdasarkan uraian diatas timbul pertanyaan bagi kita ajaran manakah yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Perbankan. Prof. Dr. Mariam Darus mengemukakan perjanjian kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoin yang dikuasai oleh Undang-Undang Pokok Perbankan dan bagian umum KUH Perdata.
“Penyerahan uangnya” sendiri, adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Di dalam praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang, sehingga jika kita mempergunakan kata-kata kredit, istilah ini meliputi baik perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang bersifat riil.
Pengertian perjanjian kredit adalah perjanjian standart, dalam Undang-Undang Perdata 1967 yang model-model perjanjian kredit terdapat “ratio” yang menyimpang dari ajaran umum KUH Perdata. Perjanjian kredit adalah sarana pembangunan untuk mendapat kredit, penerima kredit terikat pada syarat-syarat tertentu.
Di dalam praktek setiap bank telah menyediakan blangko (formulir, model) perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standard form). Formulir ini disodorkan kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian kredit dalam praktek tumbuh perjanjian standard (standard contract).
Yang menjadi permasalahan apakah kontrak standard secara juridis sah dan mempunyai akibat hukum. Untuk itu timbul berbagai pendapat dari kalangan pakar antara lain:
1.    Pitlo, kontrak standard adalah dua kontrak saja alasan kebebasan pihak-pihak yang   dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sudah dilanggar.
2.    Slaiter, secara materil merupakan “legio particu liere welgivers” (membentuk undang-undang swasta). Dengan alasan kreditur dalam hal ini bank secara sepihak menentukan substansi perjanjian.
3.    Eggins, kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan. Ini berarti kontrak standard bertentangan dengan asas-asas hubungan perjanjian (Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata) tapi dalam praktek, perjanjian timbul karena keadaan mengendalikannya dan harus diterima sebagai kenyataan.
4.   Honius, mengatakan perjanjian buku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
5.    Stein, menyatakan perjanjian baru dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictievan wil en vitroven) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Kalau nasabah debitur menerima dokumen perjanjian berarti nasabah tersebut secara sukarela tetapi pada isi perjanjian itu.
6.   Mariam Darus, dasar berlakunya kontrak standard kredit bank didasarkan oleh nasabah debitur tidak dianggap menyetujui sungguhpun dalam kenyataannya nasabah debitur tidak mengetahui isinya. Dalam perjanjian kredit, formil nasabah debitur menyetujuinya tetapi secara materiil terpaksa menerimanya. Adanya penyesuaian kehendak adalah fiktif.


Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1.   Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.   Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
3.   Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena kontrak batu eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat berlangsungnya tanpa kontrak baru yang masih dipersoalkan adalah sifat berat setelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Sehingga perjanjian itu perjanjian menindas dan tidak adil. Yang dimaksud berat sebelah adalah kontrak itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja sehingga pihak yang mempersiapkan kontrak standar tanpa mencamtumkan apa yang menjadi keinginannya. Demikian pula sebaliknya pihak yang menerima kontrak baru ini (Sari Kuliah Kapita Selecta Hukum Perdata tanggal 09/10-02 oleh Dr. Tan Kamello, S.H).
B. Hak dan Kewajiban Yang Timbul Dari Perjanjian Kredit
            Berbicara hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian kredit menyangkut kepada pemberi kredit (bank) dan penerima kredit.
Dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Tahun 1976 sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka di samping perjanjian pinjam uang yang dikenal di dalam KUH Perdata, Hukum Adat, terdapat ketentuan-ketentuan perjanjian. Kredit yang khusus berlaku bagi bank-bank dan mereka yang memperoleh kredit dari bank-bank tersebut.
Pasal 1c Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 (UUP 1967) secara tegas ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank. Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (Pasal 1a UUP 1967).
Pemberi kredit (bank) di sini pada kahekatnya melaksanakan secara tidak langsung tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menurut pola yang ditetapkan UUD 1945, GBHN dan Pelita.
Pasal-pasal 1759, 1760, 1761 dan 1762 KUH Perdata mengatur kewajiban-kewajiban orang yang meminjamkan:
Pasal 1759 KUH Perdata menyatakan bahwa: “orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam persetujuan”
Pasal 1760 KUH Perdata menyatakan jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam.
            Dalam hal ini Asser Van Oven berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan di atas sebenarnya tidak mengatur kewajiban pemberi pinjaman, akan tetapi kewajiban penerima pinjaman.
            Satu-satunya ketentuan yang mengatur kewajiban pemberi pinjaman adalah Pasal 1753 KUH Perdata akan tetapi ketentuan itu tidak bertalian dengan perjanjian pinjam uang, karena hanya mengatur perjanjian pinjam mengganti barang.
            Malahan UUP 1967 sendiri pun tidak mengatur kewajiban bank sebagai pemberi kredit. Hanya di dalam model pergi kredit model PK 1 BNI 1946 Pasal 4 ditentukan bahwa:
-   Kredit diberikan untuk jangka waktu paling lama sampai tinggal yang ditentukan di dalam perjanjian.
-   Bank hanya terikat dan berkewajiban untuk menyediakan kredit dan penerima hanya berhak mempergunakan kredit yang diperoleh paling lama sampai dengan tanggal yang ditentukan pada ayat (1).
Dari ketentuan-ketentuan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian kredit, bank memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan jangka waktu perjanjian.
Kewajiban ini tidak bersifat mutlak Bank berhak menyimpanginya dalam hal penerima kredit tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian itu. Untuk ini bank berhak secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegor penerima kredit, untuk tidak mengizinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh penerima kredit dan mengakhiri jangka waktu kredit yaitu dalam hal:

-   Penerima kredit tidak atau belum mempergunakan kredit ini setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian.
-    Penerima kredit memberikan data-data yang tidak benar sehubungan dengan perjanjian.
-    dan lain-lain.
Hak dan kewajiban dari penerima kredit
            Penerima kredit  adalah siapa saja yang mendapat kredit dari bank dan wajib mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu.
            Istilah siapa saja di sini mempunyai arti luas yang meliputi perseorangan dan badan usaha. Di dalam penjelasan dari Pasal 24 UUP 1967 berkata, Bank-bank dalam menilai suatu permintaan berpedoman kepada faktor-faktor antara lain:
1. Watak (character)
2. Kemampuan (capacity)
3. Modal (capital)
4. Jaminan (collateral) dan
5. Kondisi ekonomi (condition of economy).
Kelima syarat-syarat itu merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya.
            Apabila kita simak dari defenisi penerima kredit sebenarnya sudah terangkum apa yang menjadi hak dan kewajiban dari penerima kredit yaitu mendapat kredit sebagai hak dan mengembalikannya kembali kepada bank.
Pasal 1c UUP 1967 yang merupakan kewajiban pokok dari penerima kredit adalah melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan. Di samping itu masih terdapat berbagai-bagai kewajiban dari penerima kredit sebagai berikut:
a. Kewajiban administrasi
b. Kewajiban untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank.
C. Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank
Setiap orang yang mengadakan perjanjian tentunya berkeinginan agar perjanjian tersebut berakhir dengan baik dan memuaskan para pihak, tetapi kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan dimana salah satu tidak pihak tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Di dalam praktek selalu kita lihat bahwa penerima kredit (peminjam) lalai dalam melunasi hutang dan bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Apabila kondisi seperti ini terjadi maka suatu hal yang terpenting bagi kebijaksanaan perjanjian pemberian kredit adalah masalah jaminan yang merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya.
Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengkover utang, karena itu jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi ekonomi) merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur yaitu kepastian atau pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur.
Dalam literatur, apabila berbicara tentang jaminan selalu dikaitkan pada jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan, keduanya merupakan sarana untuk mengkover utang.
a. Perjanjian jaminan kebendaan
Perjanjian jaminan kebendaan selalu merupakan perbuatan memisahkan suatu bagian dari kekayaan seseorang yang bertujuan untuk menjaminkan dan menyediakannya bagi pemenuhan kewajiban seorang debitur.
Dalam jaminan kebendaan benda objek jaminan khusus diperuntukkan sebagai upaya preventif untuk berjaga-jaga apabila suatu ketika terjadi wanprestasi oleh debitur. Pemilikan benda objek jaminan tidak beralih kepada kreditur karena terjadinya penjaminan tersebut. Dengan demikian dalam perjanjian jaminan kebendaan benda tetap menjadi milik debitur, benda hanya disiagakan untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi wanprestasi.
Dalam hukum jaminan kebendaan apabila benda objek jaminan beralih kepada kreditur (menjadi milik kreditur) maka perjanjian jaminan tersebut batal demi hukum (Pasal 1154 KUH Perdata bagi gadai; Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata bagi hipotik, Pasal 12 UUHT bagi hak tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 bagi fiducia), sehingga dengan demikian jelas bahwa dalam hukum jaminan kebendaan tidak diperkenankan pengalihan hak atas benda objek jaminan kepada kreditur.
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda yang menjadi objek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitur apabila debitur ingkar janji.
Kedudukan kreditur adalah sebagai kreditur preferen yang didahulukan daripada kreditur lain dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari benda objek jaminan, bahkan dalam kepailitan debitur (tidak mampu membayar utang), ia mempunyai kedudukan sebagai kredit separatis.
Sebagai kreditur separatis, ia dapat bertindak seolah-olah tidak ada kepailitan pada debitur, karena ia dapat melaksanakan haknya untuk melakukan parate eksekusi.
Ketentuan KUH Perdata dalam Pasal 1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya memberikan hak preferen kepada kreditur pemegang:
- Hipotik (untuk kapal laut dan pesawat udara)
- Gadai
- Hak Tanggungan (hak jaminan atas tanah)
- Fiducia.
b. Perjanjian jaminan perorangan
Hak jaminan perorangan timbul dari perjanjian jaminan antara kreditur dengan pihak ketiga. Perjanjian jaminan perorangan merupakan hak relatif yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terkait dalam perjanjian. Dalam perjanjian jaminan perorangan, pihak ketiga bertindak sebagai penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitur apabila debitur ingkar janji (wanprestasi).
Dalam jaminan perorangan tidak ada benda tertentu yang diikat dalam jaminan, sehingga tidak jelas benda apa dan yang mana milik pihak ketiga yang dapat dijadikan jaminan apabila debitur ingkar janji, dengan demikian para kreditur pemegang hak jaminan perorangan hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren saja. Apabila terjadi kepailitan pada debitur maupun penjamin (pihak ketiga), akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang tertera dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Dalam praktek, perjanjian jaminan perorangan kurang disukai, karena para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang harus bersaing dengan kreditur lain dalam pemenuhan kewajiban debitur, dan karena pihak ketiga juga tidak mengikatkan harta tertentu dalam perjanjian maka seiring terjadi pihak ketiga melakukan pengingkaran terhadap kesanggupannya.
Menurut Subekti, karena tuntutan kreditur terhadap penanggung tidak diberikan suatu privilage atau kedudukan istimewa di atas tuntutan kreditur lainnya dari si penanggung, maka jaminan perorangan ini tidak banyak berguna bagi dunia perbankan
Perjanjian jaminan perorangan dapat berupa:
- Penanggungan/bortocht
- Bank garanti
- Jaminan perusahaan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya apabila debitur lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit) maka kreditur dalam hal ini bank dapat melakukan penyitaan dan melaksanakan penjualan benda yang menjadi objek jaminan. Tentunya hal ini dilakukan setelah bank mengadakan pembicaraan kredit artinya setelah memberikan surat perjanjian agar debitur memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.
B. Saran

            Terhadap perjanjian jaminan perorangan perlu ditinjau kembali agar debitur merasa lebih terjamin dalam melaksanakan perjanjian kredit.