Pemahaman
Tentang Perjanjian Kredit
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pada masa sekarang
dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang mandiri dan handal guna
meningkatkan terciptanya masyarakat adil dan makmur untuk meningkatkan
kemakmuran seluruh rakyat secara meluas, selaras adil dan merata. Pembangunan
ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi
ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial guna mencapai kesejahteraan manusia
itu sendiri secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu senantiasa
dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan
pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan kesinambungan
aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan.
Demikian kenyataannya, manusia yang memerlukan
alat (sarana) bagi perlengkapan hidupnya baik yang berupa kebutuhan primer
maupun sekunder. Dimana terhadap alat-alat untuk memenuhi kebutuhan manusia
itu, manusia tidak pula senantiasa mampu untuk membuatnya sendiri, tetapi dapat
memperolehnya dari orang-orang yang memang pekerjaannya mengolah barang-barang
yang diperlukan. Di samping itu manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya
kadang kala mengalami keterbatasan dana sehingga sudah sewajarnya sebagai
kondrati manusia untuk saling membutuhkan dalam memenuhi keinginan yang
beraneka ragam guna melanjutkan kehidupannya.
Dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi
maka akan semakin terasa perlunya sumber-sumber dan untuk membiayai suatu
kegiatan usaha. Hubungan antara pertumbuhan kegiatan ekonomi ataupun
pertumbuhan kegiatan usaha suatu perusahaan erat dengan perkreditan. Hal ini
disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya merupakan
mitra usaha bagi perusahaan-perusahaan jasa non keuangan lainnya.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ditinjau dari sudut
pandang perbankan atau lembaga keuangan yang menyediakan dana lewat fasilitas
pembiayaan tersebut, pembiayaan atau yang lebih dikenal dengan kata kredit
mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang. Namun demikian diakui pula bahwa sektor perkreditan tetap merupakan
kegiatan yang penting bagi industri perbankan maupun lembaga keuangan lainnya
di negara-negara berkembang maupun negara-negara yang telah maju, karena
pembiayaan tetap merupakan salah satu sumber dana yang penting untuk setiap
jenis kegiatan usaha.
Hanya
saja dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut pihak lembaga keuangan harus
bertindak secara hati-hati. Hal ini dikarenakan dari pembiayaan tersebut akan
timbul sejumlah resiko yang cukup besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang
dipinjamkan dapat diterima kembali atau tidak.
Permasalahan
Dari
uraian pendahuluan yang telah dikemukakan di atas, timbul permasalahan:
“Bagaimana tinjauan juridis terhadap Perjanjian Kredit Bank apabila Debitur
lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit)”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang
pada hakekatnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok ajaran:
1. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan
perjanjian pinjam uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya “konsensuil”.
2. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan
perjanjian pinjam uang merupakan dua buah perjanjian yang masing-masing bersifat
“konsensuil” dan “riil”.
Ke
dalam ajaran pertama mempunyai pengikut yaitu Winds Cheid dan Goudiket. Winds Cheid mengemukakan bahwa “perjanjian kredit adalah perjanjian
dengan syarat tangguh yang pemenuhannya tergantung pada peminjam yakni kalau
penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu (Pasal 1253 KUH Perdata)
sedangkan Goudiket mengemukakan pula bahwa perjanjian
kredit adalah perjanjian pinjam uang yang bersifat konsensuil dan
obligatoia. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 1338
KUH Perdata. Beliau menolak sifat riil perjanjian pinjam uang kalau seseorang
mengikatkan diri untuk menyerahkan uang kepada pihak lain, maka yang perlu
adalah satu perjanjian untuk mencapai tujuan perjanjian itu.
Penyerahan uang adalah “pelaksanaan dari perjanjian itu bukan
merupakan perjanjian tersendiri, terlepas dari perjanjian kredit. Perjanjian
kredit menurut Goudiket adalah penawaran yang mengikat pemberi kredit untuk
mengadakan suatu perjanjian timbal bali, sifat timbal balik perjanjian ini
terjadi pada saat penerima kredit menyatakan kesediaannya menerima pinjaman
itu.
Berdasarkan uraian diatas timbul pertanyaan
bagi kita ajaran manakah yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Perbankan. Prof.
Dr. Mariam Darus mengemukakan perjanjian kredit bank adalah “perjanjian
pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian
pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima
pinjaman. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoin yang dikuasai oleh
Undang-Undang Pokok Perbankan dan bagian umum KUH Perdata.
“Penyerahan uangnya” sendiri,
adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku
ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.
Di dalam praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang,
sehingga jika kita mempergunakan kata-kata kredit, istilah ini meliputi baik
perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang
bersifat riil.
Pengertian
perjanjian kredit adalah perjanjian standart, dalam Undang-Undang
Perdata 1967 yang model-model perjanjian kredit terdapat “ratio” yang
menyimpang dari ajaran umum KUH Perdata. Perjanjian kredit adalah sarana
pembangunan untuk mendapat kredit, penerima kredit terikat pada syarat-syarat
tertentu.
Di dalam praktek setiap bank
telah menyediakan blangko (formulir, model) perjanjian kredit, yang isinya
telah disiapkan terlebih dahulu (standard form). Formulir ini disodorkan
kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon.
Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat
tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal di atas menunjukkan bahwa
perjanjian kredit dalam praktek tumbuh perjanjian standard (standard
contract).
Yang menjadi permasalahan apakah kontrak standard secara juridis
sah dan mempunyai akibat hukum. Untuk itu timbul berbagai pendapat dari
kalangan pakar antara lain:
1. Pitlo,
kontrak standard adalah dua kontrak saja alasan kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
sudah dilanggar.
2. Slaiter,
secara materil merupakan “legio particu liere welgivers” (membentuk
undang-undang swasta). Dengan alasan kreditur dalam hal ini bank secara sepihak
menentukan substansi perjanjian.
3. Eggins,
kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan. Ini berarti
kontrak standard bertentangan dengan asas-asas hubungan perjanjian (Pasal 1320
jo Pasal 1338 KUH Perdata) tapi dalam praktek, perjanjian timbul karena keadaan
mengendalikannya dan harus diterima sebagai kenyataan.
4. Honius,
mengatakan perjanjian buku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
5. Stein,
menyatakan perjanjian baru dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan (fictievan wil en vitroven) yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian
itu. Kalau nasabah debitur menerima dokumen perjanjian berarti nasabah tersebut
secara sukarela tetapi pada isi perjanjian itu.
6. Mariam
Darus, dasar berlakunya kontrak standard kredit bank didasarkan oleh
nasabah debitur tidak dianggap menyetujui sungguhpun dalam kenyataannya nasabah
debitur tidak mengetahui isinya. Dalam perjanjian kredit, formil nasabah
debitur menyetujuinya tetapi secara materiil terpaksa menerimanya. Adanya
penyesuaian kehendak adalah fiktif.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan
khusus.
1. Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak
standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak
ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
3. Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya
kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena kontrak batu
eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan
masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat berlangsungnya tanpa
kontrak baru yang masih dipersoalkan adalah sifat berat setelah dan tidak
mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak
lainnya. Sehingga perjanjian itu perjanjian menindas dan tidak adil. Yang
dimaksud berat sebelah adalah kontrak itu hanya atau terutama mencantumkan
hak-hak salah satu pihak saja sehingga pihak yang mempersiapkan kontrak standar
tanpa mencamtumkan apa yang menjadi keinginannya. Demikian pula sebaliknya
pihak yang menerima kontrak baru ini (Sari Kuliah Kapita Selecta Hukum Perdata
tanggal 09/10-02 oleh Dr. Tan Kamello, S.H).
B. Hak dan Kewajiban Yang Timbul Dari Perjanjian Kredit
Berbicara hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian kredit menyangkut kepada pemberi kredit (bank) dan
penerima kredit.
Dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Tahun 1976 sebagaimana
telah diperbaharui dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka di samping perjanjian
pinjam uang yang dikenal di dalam KUH Perdata, Hukum Adat, terdapat
ketentuan-ketentuan perjanjian. Kredit yang khusus berlaku bagi bank-bank dan
mereka yang memperoleh kredit dari bank-bank tersebut.
Pasal 1c Undang-Undang Perbankan
Tahun 1967 (UUP 1967) secara tegas ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank.
Bank adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang (Pasal 1a UUP 1967).
Pemberi kredit (bank) di sini
pada kahekatnya melaksanakan secara tidak langsung tugas-tugas pemerintah yang
berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat menurut pola yang ditetapkan UUD 1945, GBHN dan Pelita.
Pasal-pasal 1759, 1760, 1761 dan
1762 KUH Perdata mengatur kewajiban-kewajiban orang yang meminjamkan:
Pasal
1759 KUH Perdata menyatakan bahwa: “orang yang meminjamkan tidak dapat meminta
kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam
persetujuan”
Pasal 1760 KUH Perdata menyatakan jika tidak telah ditetapkan sesuatu
waktu, Hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian
pinjamannya menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam.
Dalam hal ini
Asser Van Oven berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan di atas sebenarnya tidak mengatur
kewajiban pemberi pinjaman, akan tetapi kewajiban penerima pinjaman.
Satu-satunya
ketentuan yang mengatur kewajiban pemberi pinjaman adalah Pasal 1753 KUH
Perdata akan tetapi ketentuan itu tidak bertalian dengan perjanjian pinjam
uang, karena hanya mengatur perjanjian pinjam mengganti barang.
Malahan UUP 1967 sendiri pun tidak mengatur
kewajiban bank sebagai pemberi kredit. Hanya di dalam model pergi kredit model
PK 1 BNI 1946 Pasal 4 ditentukan bahwa:
- Kredit diberikan untuk
jangka waktu paling lama sampai tinggal yang ditentukan di dalam perjanjian.
- Bank hanya terikat dan
berkewajiban untuk menyediakan kredit dan penerima hanya berhak mempergunakan
kredit yang diperoleh paling lama sampai dengan tanggal yang ditentukan pada
ayat (1).
Dari ketentuan-ketentuan di atas
maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian kredit, bank
memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit
dan jangka waktu perjanjian.
Kewajiban ini tidak bersifat mutlak Bank berhak
menyimpanginya dalam hal penerima kredit tidak memenuhi syarat-syarat
perjanjian itu. Untuk ini bank berhak secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa
terlebih dahulu memberitahukan atau menegor penerima kredit, untuk tidak
mengizinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh
penerima kredit dan mengakhiri jangka waktu kredit yaitu dalam hal:
- Penerima kredit tidak
atau belum mempergunakan kredit ini setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak
berlakunya perjanjian.
- Penerima kredit
memberikan data-data yang tidak benar sehubungan dengan perjanjian.
- dan lain-lain.
Hak dan kewajiban dari penerima kredit
Penerima kredit adalah siapa saja yang mendapat kredit dari
bank dan wajib mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu.
Istilah siapa saja di sini mempunyai arti luas
yang meliputi perseorangan dan badan usaha. Di dalam penjelasan dari Pasal 24
UUP 1967 berkata, Bank-bank dalam menilai suatu permintaan berpedoman kepada
faktor-faktor antara lain:
1. Watak (character)
2. Kemampuan (capacity)
3. Modal (capital)
4. Jaminan (collateral)
dan
5. Kondisi
ekonomi (condition of economy).
Kelima syarat-syarat itu merupakan ukuran kemampuan
penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya.
Apabila kita simak dari defenisi penerima kredit
sebenarnya sudah terangkum apa yang menjadi hak dan kewajiban dari penerima
kredit yaitu mendapat kredit sebagai hak dan mengembalikannya kembali kepada
bank.
Pasal 1c UUP 1967 yang merupakan kewajiban pokok dari penerima kredit adalah melunasi hutang setelah jangka waktu
tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan. Di samping itu masih terdapat
berbagai-bagai kewajiban dari penerima kredit sebagai berikut:
a. Kewajiban administrasi
b. Kewajiban untuk tunduk
kepada segala petunjuk dan peraturan bank.
C. Tinjauan
Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank
Setiap orang yang mengadakan perjanjian tentunya berkeinginan agar
perjanjian tersebut berakhir dengan baik dan memuaskan para pihak, tetapi
kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan dimana salah satu tidak pihak
tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Di dalam praktek selalu kita lihat bahwa penerima kredit
(peminjam) lalai dalam melunasi hutang dan bunga dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
Apabila kondisi seperti ini terjadi maka suatu hal yang terpenting
bagi kebijaksanaan perjanjian pemberian kredit adalah masalah jaminan yang
merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya.
Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengkover utang,
karena itu jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal,
jaminan dan kondisi ekonomi) merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur
yaitu kepastian atau pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitur.
Dalam literatur, apabila
berbicara tentang jaminan selalu dikaitkan pada jaminan kebendaan dan jaminan
perorangan. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan,
keduanya merupakan sarana untuk mengkover utang.
a. Perjanjian jaminan kebendaan
Perjanjian jaminan kebendaan selalu merupakan perbuatan memisahkan
suatu bagian dari kekayaan seseorang yang bertujuan untuk menjaminkan dan
menyediakannya bagi pemenuhan kewajiban seorang debitur.
Dalam jaminan kebendaan benda
objek jaminan khusus diperuntukkan sebagai upaya preventif untuk berjaga-jaga
apabila suatu ketika terjadi wanprestasi oleh debitur. Pemilikan benda objek
jaminan tidak beralih kepada kreditur karena terjadinya penjaminan tersebut.
Dengan demikian dalam perjanjian jaminan kebendaan benda tetap menjadi milik
debitur, benda hanya disiagakan untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi
wanprestasi.
Dalam hukum jaminan kebendaan
apabila benda objek jaminan beralih kepada kreditur (menjadi milik kreditur)
maka perjanjian jaminan tersebut batal demi hukum (Pasal 1154 KUH Perdata bagi
gadai; Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata bagi hipotik, Pasal 12 UUHT bagi hak
tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 bagi fiducia), sehingga dengan
demikian jelas bahwa dalam hukum jaminan kebendaan tidak diperkenankan
pengalihan hak atas benda objek jaminan kepada kreditur.
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut)
atas suatu benda yang menjadi objek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat
diuangkan bagi pelunasan utang debitur apabila debitur ingkar janji.
Kedudukan kreditur adalah sebagai
kreditur preferen yang didahulukan daripada kreditur lain dalam pengambilan
pelunasan piutangnya dari benda objek jaminan, bahkan dalam kepailitan debitur
(tidak mampu membayar utang), ia mempunyai kedudukan sebagai kredit separatis.
Sebagai kreditur separatis, ia dapat bertindak seolah-olah tidak
ada kepailitan pada debitur, karena ia dapat melaksanakan haknya untuk
melakukan parate eksekusi.
Ketentuan
KUH Perdata dalam Pasal 1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya)
hanya memberikan hak preferen kepada kreditur pemegang:
- Hipotik
(untuk kapal laut dan pesawat udara)
- Gadai
- Hak
Tanggungan (hak jaminan atas tanah)
- Fiducia.
b. Perjanjian jaminan perorangan
Hak jaminan perorangan timbul dari perjanjian jaminan antara kreditur
dengan pihak ketiga. Perjanjian jaminan perorangan merupakan hak relatif yaitu
hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terkait dalam
perjanjian. Dalam perjanjian jaminan perorangan, pihak ketiga bertindak sebagai
penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitur apabila debitur ingkar janji
(wanprestasi).
Dalam jaminan perorangan tidak ada benda tertentu yang diikat
dalam jaminan, sehingga tidak jelas benda apa dan yang mana milik pihak ketiga
yang dapat dijadikan jaminan apabila debitur ingkar janji, dengan demikian para
kreditur pemegang hak jaminan perorangan hanya berkedudukan sebagai kreditur
konkuren saja. Apabila terjadi kepailitan pada debitur maupun penjamin (pihak
ketiga), akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang tertera dalam Pasal
1131 dan 1132 KUH Perdata.
Dalam praktek, perjanjian jaminan perorangan kurang disukai,
karena para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang harus
bersaing dengan kreditur lain dalam pemenuhan kewajiban debitur, dan karena
pihak ketiga juga tidak mengikatkan harta tertentu dalam perjanjian maka
seiring terjadi pihak ketiga melakukan pengingkaran terhadap kesanggupannya.
Menurut Subekti, karena tuntutan kreditur terhadap penanggung tidak diberikan
suatu privilage atau kedudukan istimewa di atas tuntutan kreditur lainnya dari
si penanggung, maka jaminan perorangan ini tidak banyak berguna bagi dunia
perbankan
Perjanjian jaminan perorangan dapat berupa:
-
Penanggungan/bortocht
- Bank
garanti
- Jaminan
perusahaan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya apabila
debitur lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit)
maka kreditur dalam hal ini bank dapat melakukan penyitaan dan melaksanakan
penjualan benda yang menjadi objek jaminan. Tentunya hal ini dilakukan setelah
bank mengadakan pembicaraan kredit artinya setelah memberikan surat perjanjian
agar debitur memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.
B. Saran
Terhadap
perjanjian jaminan perorangan perlu ditinjau kembali agar debitur merasa lebih
terjamin dalam melaksanakan perjanjian kredit.